Latest News

Syekh Said bin Isa Al Amudy (bagian II)

Senin, 26 Januari 2009 , Posted by MADUFM at 16.00

Syekh Said bin Isa Al Amudy (bagian II)

Tareqat A Amudiyah

Seiring dengan perkembangan zaman, mungkin pemakaian term “tarekat” dapat di analogikan dengan kata “madrasah”. Jikalau generasi kita proses belajarnya dalam setiap jenjang dan struktur pendidikan memakai metode ilmu psikologi, sosial, ekonomi, filsafat dll, terpengaruh dengan sistem Dikarto dan Baflofy, Roust, dan Jean Jack Rosou, dan yang sejalan dengannya, di mana pemikirannya banyak berperan pada terbentuknya formula sekolah modern, yaitu sekolah yang memberikan ijazah kepada para alumninya.


Ketika kita membahas permasalahan tasawuf dengan cermat, kita akan menemukan kenyataan bahwa proses pendidikan modern yang ada saat ini baik di barat maupun timur lebih terkontaminasi dengan metode di atas ketimbang proses pendidikan tasawuf sebagaimana tuduhan mereka bahwa sistem pengajaran tasawuf merupakan pengaruh dari metode barat. Sebenarnya tuduhan itu tak lain hanyalah hasil rekayasa orentalis. Dari sinilah, timbul propaganda terhadap tasawuf dan proses sistem pengajaran non klasikal.

Walaupun demikian, terkadang kita melihat beberapa oknum yang menisbatkan dirinya kepada tasawuf tidak konsisten (berlebih-lebihan, atau mengabaikan) baik dari segi sistem maupun metodenya. Sebagaimana hal itu juga terjadi dalam proses bermazdhab dan aneka ragam cara pandang hingga saat ini, tapi kita tidak bisa mengklaim penyimpangan yang dilakukan segelintir penganutnya tersebut merupakan bias dari sistem dan metode yang ada dalam ajaran tasawuf.

Sebagai contoh, pendidikan yang ditempuh oleh orang-orang yang bermazdhab Hambali, tidak sedikit dari pengikutnya yang menyimpang baik dari segi pemikiran, hukum, maupun keyakinan, namun dengan kenyataan itu, para ulama tidak menisbatkannya kepada mazdhab Hambali dan penganutnya secara keseluruhan. Melainkan mengkhususkan penyimpangan tersebut hanya kepada yang bersangkutan. Inilah konsep dalam Islam, yang telah diimplementasikan para sahabat dalam menyikapi perbedaan corak pandang, keyakinan, maupun politik pada masa-masa awal Islam. Jadi, pendidikan tasawuf adalah corak pendidikan yang mempraktekkan ajaran Islam dalam segala aspeknya. Yang salah satu tujuan urgennya adalah pembinaan akhlak dan keistiqamahan hati pada kemurnian ajaran Nabi Muhammad SAW. Adapun mengenai keterkaitannya dengan syariat Islam bersinergi dengan aneka macam corak pandang madzhab Islam yang ada. Yang terpenting dalam pembahasan ini adalah seputar pendidikan tasawuf yang ada di Hadramaut.

Sebelum abad ketujuh Hijriyah di Hadramaut tidak terdapat ajaran tasawuf. Di lain tempat sekitar Yaman berkembang tarekat Qadiriyah. Seiring dengan perkembangan tarekat Qadiriyah, sejak abad ke tujuh Hijriyah muncul pula di Hadramaut tarekat Syuaibiyah. Setelah itu bermunculan tarekat-tarekat lain, dan pengajaran tasawuf terus berkembang. Kala itu, pengajaran ini menjadi pavorit dalam mewakili corak pendidikan pemikiran yang mampu mengimbangi tantangan zaman saat itu. Dari situlah, kita menemukan sosok mujtahid dalam bidang Usul dan Hadist semisal al Faqih al Muqaddam banting setir dari posisinya -sebagai Mujtahid Usul- kepada tasawuf yang tidak menyukai kemasyhuran. Beliau beserta generasi penerus dari ahlulbait , pengikut yang menyintainya, dan para ahli agama rela menempuh jalan kefakiran dan menghiasi dirinya dengan perilaku kaum sufi. Pedoman ini merupakan keharusan dalam ekosistem masyarakat, serta relevan dengan perkembangan zaman saat itu. Maka dari itu, ketika hal ini menjadi sebuah keharusan dan merupakan kebutuhan primer dalam hidup, tidak ada jalan lain kecuali menempuhnya. Dalam hal ini Syekh Said bin Isa al Amudy antusias dalam menjalaninya dengan senantiasa berada di bawah naungan bendera Mujtahid Usul –al Faqih al Muqaddam- yang memiliki satu misi dan berasal dari satu sumber. Adapun penamaan “Tarekat al Amudy” oleh sejarawan maksudnya adalah rentetan pengambilan sanad yang bersambung dengan seorang Syekh yang mana seorang murid setelah itu mengembalikan sanadnya kepadanya…dilanjutkan pengambilan baiat dan tahkim (pengokohan seorang Syekh) untuk generasi setelahnya. Dari itulah, al Imam al Allamah al Wajih Abdurrahman bin Abdullah bal Faqih dalam kitabnya “Raf`u al Sitar” berkata : “Sesungguhnya tarekat al Amudiyah salah satu dari tarekat yang masyhur dan diridoi, terdiri dari sekitar 23 tarekat, seluruhnya kembali kepada satu tarekat, yaitu tarekat Syekh Syuaib Abu Madyan.
Syekh Abu Madyan Syuaib
Syekh Abdurrahman al Maqad
Syekh Abdullah al Shaleh al Maghriby
Al Faqih al Muqaddam Syekh Said al Amudy Syekh Ba Amran
Cabang Tarekat al Amudiyah melalui Tarekat keturunan Syekh al Amudy dan murid-murid setelahnya.

Syekh Said dan Murid-muridnya

Beberapa kewajiban seorang Syekh yang shaleh, al Murabby (mampu membimbing pada kebenaran hakiki) al Nasih (mampu menunjuki kejalan yang benar) adalah kemampuannya mencetak sosok pengikut yang dapat mengambil mutiara ilmu, amal dan kemurnian pekertinya, mampu mengimplementasikan esensi yang terdapat pada sosok Syekh dari tindakan kesehariaan, ketaatan dan ketekunan mujahadah, serta kebenaran tawajuhnya kepada Allah SWT.

Syekh Said adalah salah satu figur seorang Syekh pembimbing yang sulit dicari tandingannya saat itu, khususnya setelah hidup dalam masa yang lama, berikut keintimannya dengan Syekh Abdullah al Shaleh al Maghriby, dan mampu mencetak seorang pembimbing rohani dan jiwa. Beliau pernah mengutarakan akan keadaan dirinya sebagai berikut : “Dari hasil bimbinganku aku telah menjadikan seorang Muqaddam sebanyak 17 Syekh. Di antara mereka ada yang mendapatkannya secara rahasia, sebagian lagi ada yang memperolehnya secara terang-terangnan”. Maksud dari “takdim”(pengedepanan) di sini adalah formula untuk dapat menjadi panutan dalam sebuah pengajaran dan suri tauladan yang baik.

Murid-murid yang mengambil tarekat dari Syekh Said al Amudy menyebarkannya ke berbagai pelosok negeri. Di antara mereka yang tersohor akan kealiman dan kesalehannya antara lain :
1. Syekh Muhammad bin Muhammad Ba Abbad al Dauany, beliau adalah salah seorang murid kesayangan Syekh Said, mengambil pengetahuan dari SyekhSaid secara sempurna hingga tuntas, sekaligus mendapat izin atas kemampuannya untuk tampil sebagai Syekh. Konon, masalah ini menjadi sangat mengganjal perasaan salah seorang murid Syekh Said, beliau merasakan gejala tersebut, dan berkata kepada murid-muridnya : “Janganlah kalian berprasangka yang tidak baik kepadaku, sesungguhnya Syekh Muhammad Ba Abbad adalah Buzzal Kuhhal dan kalian qu`dan yang belum mampu membawa bebannya”. Syekh Ba Abbad mempersunting salah seorang putri dari keluarga al Amudy, dan mempunyai beberapa orang anak antara lain: Al Ghazali, Ummu Mahmud, Umu Abil Qasim, dan Umu Ruqayyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Uns al Salilkin” di sela-sela keterangannya tentang karamah Syekh Said al Amudy, Syekh Ba Abbad hidup di desa “Radum” daaerah “al Wahidy” dan wafat di sana, kuburannya tidak asing lagi di mata masyarakat, keturunan beliau masih tersisa hingga saat ini dengan sebutan “Keluarga Ba Abbad”.
2. Syekh Muhammad bin Salim Ba Wazir.
3. Syekh Najih bin Amta`
4. Syekh Ba Umar dari daerah Urah
5. Syekh Ba Yazid dari daerah al Khamilah
6. Syekh Ba Balil
7. Syekh Ba Asyan dari Ribat yang terkenal di lembah Dauan.
8. Syekh Ba Haj dari daerah Rimah Lembah Amaqien
9. Syekh Sulaiman Ba Mani` dari Huraibah
10. Syekh Hasan Bal Khoir dari Hajr
11. Syekh Ali dan Syekh Aflah
12. Para Syekh dari keluarga Ba Hamisy.

Di antara mereka yang belajar kepada Syekh Said adalah kedua putranya Syekh Jamaluddin Muhammad bin Said dan Ali bin Said, dari keduanya silsilah tarekat ini berlanjut kepada anak cucu dan kerabatnya, seperti Maula Sya`b Khodm Syekh Umar bin Muhammad, Syekh Ustman bin Umar bin Muhammad, Syekh Muhammad bin Ustman, Syekh Abdullah bin Muhammad bin Ustman dari Dzimar, Syekh Ustman bin Abdullah, Syekh Ahmad bin Muhammad yang bergelar dengan “al Qadim”, Syekh Ustman bin Ahmad, Syekh Umar bin Ahmad yang bergelar “ al Tayyar”, Syekh Abdullah bin Umar Shahib al I`rd, Syekh Umar bin Ahmad Abdullah, Syekh Abdurrahman bin Umar, biografinya terdapat dalam kitab “an Nur as Safir”, Syekh Ustman bin Muhammad yang disebutkan dalam kitab “Tarikh Ba Makhramah”, Syekh Ahmad Abdurrahman yang pernah belajar kepada Bin Hajr al Haitami dan al Romli, Syekh Umar bin Abdulkadir yang pernah belajar kepada Imam Haddad, Syekh Abdullah bin Ustman dari Daufah, Syekh Ustman bin Said yang di kuburkan di Ribat Ba Asyan, Syekh Ustman bin Abdulkadir dari “Lembah Yabast” Syekh Muhammad bin Abdullah yang di makamkan di daerah Qaidun, Syekh Ustman bin Ahmad yang dikenal dengan sebutan Ahmad al Shagir untuk membedakan antara dia dengan kakeknya Muhammad bin Ustman bin Ahmad al Qadim, beliau – Syekh Ustman- adalah orang yang pertama kali memindahkan “zawiyah al Amudy” dari Qaidun ke Budhah. Tatkala berada di Qaidun, Zawiyah tersebut dikelola oleh Syekh Umar bin Ahmad, kemudian karena beberapa hal beliau melepas tanggung jawabnya dan selanjutnya menyerahkan tanggung jawab kepada saudaranya Ustman.

Figur dan Akhlaq Mulia Syekh Said

Beliau berperawakan tinggi besar, berkulit sawo mateng, jenggotnya lebat, terbersit darinya cahaya dzikir dan ibadah, tidak sombong dan congkak, senantiasa rendah hati dan menghiasi kehidupannya dengan ibadah dan kefakiran, menaiki kendaraan tanpa alas, memakai pakaian seadanya dengan tidak berlebih-lebihan dan pamer, sosok yang dermawan, menafkahkan apa yang dirizkikan Allah SWT kepadanya kepada yang berhak, memberi makanan fakir miskin, menghormati tamunya, begitu pula tidak sungkan-sungkan memberikan apa yang Allah SWT limpahkan dari rahasia ilmu kepada murid-muridnya, tidak kikir dan tidak berlebihan-lebihan dalam menginfakkannya, beliau juga banyak melakukan mujahadah dalam menempuh jalan Allah SWT, banyak berdzikir, sering merenung, cepat terpengaruh dengan bacaan al Quran, sering mengunjungi para sholihin dan wali-wali Allah SWT. Memenuhi hak-hak keluarga, kerabat, dan tetangganya.

Dari dirinya tercipta kebajikan, baik yang sifatnya umum ataupun khusus dan sangat bernilai, sentuhan tangannya yang barokah menyembuhkan penyakit orang-orang sakit, lewat doanya Allah SWT melepaskan segala kesedihan yang menimpa, demikian pula sering tampak pada dirinya karamah dan hal di luar nalar, yang menandakan maqam Syekh Said dan kemulyaannya, dan kebenaran penyerahannya kepada yang Maha mengabulkan segala doa yang tertimpa lara dan yang Maha menghilangkan segala keburukan. Tidak sedikit dari para pengarang kitab yang menulis tentang karamah yang tampak dari diri Syekh Said, dan kami sengaja melewatkannya karena hal tersebut tidak lain hanyalah buah dari amal perbuatannya dan hubungan yang hakiki antara seorang hamba dan tuhannya. Pembahasan kita saat ini berkisar seputar amal perbuatan itu sendiri, yang mana Allah SWT telah menganugerahkan kepadanya melalui sosok dan maqamnya, dan itu merupakan inti dari persaingan dalam mencapainya, serta upaya dalam mendapatkanya, demikian juga sebab diterimanya amalan di sisi Allah SWT. Adapun atmosfir generasi kita saat ini yang telah terkena virus penginkaran terhadap segala apa yang bertentangan dengan akal, penyebabnya adalah banyaknya pengaruh racun (kemodernan) yang memasuki dirinya. Akal pada dasarnya sebuah elemen yang kemampuan dan daya tampungnya terbatas, tidak dapat dijadikan sebuah ukuran dalam menilai sesuatu dalam dimensi agama maupun kehidupan di dunia ini. Akan tetapi fungsi dari komponen akal ini dalam pandangan Islam – yang merupakan tujuan penciptaannya- agar digunakan sesuai dengan fungsi dan objek kegunaannya yang bersinergi dengan hal-hal konkrit, pemahaman objek tertentu, menganalisis serta memanfaatkan daya pikir untuk menyingkap apa yang ada di balik alam dan isinya. Adapun menjadikan akal sebagai tolak ukur dalam menghukumi sesuatu yang abstrak adalah sebuah kemustahilan, hal itu telah menyalahi tujuan penciptaannya.

Yang perlu diketahui oleh generasi saat ini, bahwa karamah adalah kesan lahiriah (akibat amal perbuatan) yang terjadi atas izin Allah SWT pada hambanya yang shaleh, sedangkan sihir dan semacamnya juga merupakan kesan lahiriah terjadi atas izin Allah SWT yang tampak dari hambanya yang mustadraj (keadaan yang bersifat sementara). Adapun mukjizat adalah kesan lahiriah terjadi atas izin Allah SWT yang di tampakkan kepada para Nabi dan para Utusan yang mulya. Jadi, dalam setiap tingkatan terdapat pengertian dan dalilnya. Siapapun yang menisbatkan kesan (pengaruh) ini kepada yang bukan ahlinya, hal itu berarti telah menyelahi tujuan penciptaannya atas seorang hamba. Dan telah menjadikan akal dan hawa nafsunya tolak ukur dalam menyikapi apa yang bersumber dari Allah SWT dan Rasulnya. Maka berhati-hatilah mereka yang menentang perintah-Nya akan tertimpa fitnah atau adzab yang pedih.

Syekh Said dan Ilmu Agama

Para ulama mengklasifikasikan ilmu pengetahuan kepada dua bagian : pertama Ilmu Kasby dan kedua Ilmu Wahby. Ilmu Kasby adalah sesuatu yang diperoleh oleh seseorang dengan usaha keras saat mencarinya, senantiasa duduk bersama ulama dan Syekh, membaca dan menganalisis serta melakukan percobaan dalam hidupnya.

Adapun Ilmu Wahby adalah semua yang diberikan Allah SWT kepada hambanya melalui bawah sadarnya saat mencari ilmu, atau tatkala menempuh perjalan menuju tuhannya dengan ketaatan dan perbuatan yang shaleh, di mana pada setiap ketaatan terdapat hasil buahnya. Dan di setiap hasil buah itu terdapat dzauq (rasa), kebanyakan perusak buah ketaatan adalah perbuatan maksiat, apabila buah itu rusak, maka rusak pulalah dzauq (rasa), dan tinggallah ketaatan bagaikan pohon yang tanpa buah. Setiap orang yang taat kepada Allah SWT, akan mendapatkan buah dari ketaatannya. Melimpahkan kepada mereka beraneka ragam dzauq, di mana dari dzauq tersebut muncullah sebuah maqam keimanan tertentu. Mengenai hal ini dikatakan : “Kemanisan iman aka terasa oleh mereka yang rela bahwa Allah SWT adalah tuhannya, Islam adalah agamanya, Nabi Muhammad Saw. adalah Nabi dan Rasul” barang siapa yang merasakan manisnya iman maka Allah akan menampakkan bias pada perkataannya yang senantiasa di hiasi mutiara hikmah dan ilmu. Allah SWT berfirman : "Maka bertakwalah kepada Allah niscaya Allah akan mengajarimu”. Inilah letak pembahasan kita mengenai biografi Syekh Said –semoga Allah merahmatinya .

Sosok Syekh Said bin Isa al Amudy, sebagaimana digambarkan dalam beberapa buku adalah seorang yang Ummi tidak dapat membaca dan menulis, ummiyah adalah cela bagi seseorang. Kecuali atas Rasulullah Saw. Yang memilki pengertian khusus. Namun ketika kita mencermati ummiyah yang ada pada diri Syekh Said, dapat kita temui bahwa keummiyannya tidaklah seperti yang dibayangkan orang, mereka yang memaknai ummiyah dengan kebodohan sering melebih-lebihkan hal itu. Syekh Said menghabiskan umurnya pada kegiatan belajar dan ilmu. Daerah Qaidun dan sekitarnya merupakan daerah yang dipenuhi dengan ulama dan ilmu pengetahuan. Hanya saja Syekh Said tidak seperti para pencari ilmu, melainkan mencukupkan dirinya hanya dengan menyimak dan duduk bersama Syekh. Dan itu merupakan salah satu metode dalam mencari ilmu. Konon di Hadramaut tak jarang yang hafal quran tanpa disadari saking banyaknya menyimak dan menghadiri halaqah alquran. Hal ini bukan mustahil, apalagi para ulama setiap siang dan malam tidak henti-hentinya memberikan pelajaran berkenenaan dengan amal ketaatan dan ibadah, tanpa melakukan riset ataupun berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Maka sosok Syekh al Amudy di kategeriakan ummi dari sudut pandang jenjang yang semestinya di tempuh oleh seorang pencari ilmu kepada para ulama ketika itu, adapun dari sisi kepasitas keilmuan beliau adalah seorang yang mumpuni. Akan tetapi beliau tidak suka menampakan diri, uzlah, menjauhkan diri dari dunia pemikiran yang ada. Dalam keadaan seperti ini beliau belajar, menimba pengetahuan dan cahaya pengetahuannya terus bersinar terang. Cahaya ini semakin berkilau tatkala beliau menekuni ilmu tasawuf, menjadi panutan, Syekh, dan sosok pembimbing, dari lisannya terucap mutiara dzauq dan hikmah dan membimbing anak didiknya kepada ilmu dan pengamalan, simaklah ucapannya berikut ini : “Tidak seorangpun dari para Syekh mendapat keutamaan apabila menginginkan pujian dari apa yang diperbuat untuk muridnya, sebab anak didik bagaikan anaknya, dan pujian tidak dapat diberikan kepada siapa yang berbuat untuk orang lain yang bukan kerabatnya.” Beliau juga berkata : “Janganlah sekali-kali kalian bersahabat dengan orang yang pesimis walaupun memberikan tumpangannya.”

Dalam bidang ilmu Hadis mengenai barokah dalam ilmu dan pengamalannya beliau berkata : “Buahnya banyak namun panennya sedikit” ketika beliau ditanya tentang syarat seorang Syekh Pembimbing (murabby) jawabnya: “Seorang Murabby hendaknya terus mengaktifkan pikirannya, mencemerlangkan dzikirnya, tidak banyak berdebat, terus membenahi dirinya, lemah lembut, banyak ilmunya, dadanya sangat lapang, rendah hati, tertawanya adalah senyuman, dan pertannyaannya adalah pembelajaran, pengingat bagi yang lalai, pengajar orang bodoh, penentram orang asing, penolong setiap muslim dalam setiap kesukaran, bapak bagi orang yatim, pengayom orang-orang lemah dan fakir miskin, kesedihannya terselubung dalam hatinya, bergembira dengan tuhannya, merasa enggan dengan pecinta dunia, tidak kikir dan tidak tergesa-gesa (dalam menginfakkannya), tidak tertawa dengan kemenangan yang diperolehnya, tidak marah kepada orang yang menyakitinya, melainkan memaafkannya, tidak menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang tidak berguna, apabila di cela ia tidak membalasnya, kalau diminta ia memberi, ketika keinginannya tak terpenuhi ia tidak marah, lebih lunak dari busa, lebih manis dari madu, dekat dengan kebaikan dan ahlinya, jauh dari kejahatan dan ahlinya, kemarahannya didasari dengan keadilan. Beliau juga berkata : “Bukanlah seorang Syekh apabila ia belum menguasai usuluddin (pokok agama) dan cabangnya. Pokok dalam agama ada tujuh sedangkan cabangnya sebanyak tujuh puluh”

Ketika Syekh Ahmad bin Abu al Ju`di bertanya tentang tarekat kaum sufi beliau menjawab : “Tarekat kaum sufi adalah tarekat para penempuh kebenaran, dan tarekat para mujtahid, adapun tarekat para penempuh kebenaran adalah meninggalkan makhluk, dan memutuskan segala hubungan, dan bersungguh-sungguh dalam berkhidmah kepada penguasa makhluk. Adapun tarekat para mujtahid adalah puasa dan bangun malam serta meninggalkan segala bentuk dosa.

Beliau juga menjawab pertanyaan lain dari Ibn Abu al Ju`di ketika ditanya tentang ciri-ciri seorang fakir yang sabar :”Memakai baju perang dari segala cobaan, menyandang pedang untuk kemulyaan, dan serempang (rida’) dari kekhusuan, celana untuk keiffahan, dan selimut kemaluan, jubah pengawasan (muraqabah), tongkat ketawakalan, dan lentera untuk mengedepankan yang lain, sandal kesabaran, siwak kekanaahan (cukup dengan yang ada), dan hendaknya mempunyai tempat (zawiyah) untuk ilmu pengetahuan, meneguk minuman makrifat, apabila ia telah berdiri di depan pintu makrifah dan berada di pintu yang maha suci berarti ia berada pada tahap akhir, apabila ia berada dalam tahapan ini maka akan dianugerahkan kepadanya sifat-sifat luar biasa dan darinya mendapat pengetahuan tertentu, apabila ia mengetahui dengannya hal tertentu, maka ia akan lebih lembut dari air, lebih tinggi dari langit, di sekelilingnya akan subur dan himmahnya (cita-cita mulyanya) lebih tajam dari pedang, tutur katanya jauh dari kebohongan, perumpaannya bagaikan lautan di mana orang-orang mandi di dalamnya, ikannya disantap orang, yang memasukinya akan menemui sebuah ketenangan dari capeknya kejauhan jarak yang ditempuh, menghilangkan ketakutan, ketika berucap ia jujur, kalau dikatakan kepadanya ia membenarkannya, hak yang berkenaan dengan dirinya diterapkan, dan yang berkenaan dengan orang lain di abaikannya (tidak menuntut balas), menerima dan merasa cukup terhadap apapun yang Allah SWT rizkikan kepadanya, tidak mendzalimi siapapun dari makhluk Allah, apabila ada yang mendzaliminya ia bersabar dan memaafkan, merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah SWT dan merekalah orang-orang yang beruntung.

Peninggalan Syekh Said Al Amudy

Syekh Said bin Isa al Amudy mewariskan banyak peninggalan ilmiah yang nyata di mayoritas daerah di Hadramaut dan beberapa daerah di Yaman, Afrika bagian timur, Indonesia dan lainnya, seperti halnya peninggalan para Sadah Bani Alawi, karena metode yang di terapkan oleh al Faqih al Muqaddam dan Syekh Said al Amudy berada dalam satu misi dan tujuan yang sama. Maka dari itu pengaruh keduanya terjadi dalam satu masa dan anak didik dan pengikutnya tersebar di setiap penjuru, setiap kharisma dari keluarga Bani Alawi tampak kepermukaan maka akan ditemukan pula pengaruh dari Syekh keluarga dari al Amudy. Terkadang kiprah dari masyayekh keluarga al Amudy meningkat di beberapa daerah dan secara independen menyebarkan dakwah dan ilmu, memperbaiki hubungan antara satu sama lain. Sebagai contoh kita menemukan bahwa pengaruh keluarga al Amudy di lembah Dauan sejak era Syekh Said sampai ke masa anak keturunannya cukup kuat. Bahkan dalam beberapa fase dapat membina sebuah kekuasaan dalam bidang agama maupun keduniaan. Begitu pula di lembah Hajr dan sekitarnya, pengaruh Syekh Said begitu besar, khususnya pembangunan masjid-masjid. Tidak ada masjid kecuali dinisbatkan kepada keluarga al Amudy dan anak cucunya. Di daerah itu juga Syekh Said meninggalkan tradisi bersedekah yang telah menjadi adat-istiadat sejak abad dahulu, yaitu ketika para warga daerah itu mengadu kepada beliau tentang kerusakan yang menimpa tanaman kurma dan buahnya, beliau berdoa agar dijaga oleh Allah SWT, dan menyuruh penduduk di situ untuk menyedekahkan kurmanya kepada para fakir miskin. Tradisi ini masih dilestarikan hingga menjelang zaman perubahan di era kebangkitan di Yaman.

Di daerah al Awaliq al Sufla Syekh Said al Amudy banyak meninggalkan peninggalan, di situ terdapat sejumlah masjid, seperti masjid al Masani, masjid Lakh dan masjid Syekh Said Ba Ahwar, semuanya dinisbatkan kepada Syekh Said ketika beliau mengunjungi daerah Ahwar pada abad ketujuh Hijriah. Menurut riwayat, salah seorang keturunan Syekh Said berkunjung ke Ahwar dan melihat penghuninya ditimpa penyakit cacar sehingga membinasakan banyak orang, beliau menyuruh mengumpulkan seluruh penduduk untuk keluar mengelilingi daerah itu sambil berkata : “Syai` lillah2x syuwailillah ya al Amudy” kemudian mengajak untuk saling bersedekah antara satu dengan lainnya, yang mana hal itu akhirnya menjadi adat yang dilaksanakan pada nisf sya`ban, menjadi ikon daerah itu, yang pada saat kemudian terkontaminasi oleh hal yang tercela yakni bercampur aduknya laki-laki dan perempuan di rumah-rumah dan jalanan. Dari itulah, maka Sayid Ali bin Abu Bakar al Masyhur (abahku) tatkala mengunjungi Ahwar tahun 1362 sangat menginkari peristiwa tersebut. Kemudian meminta dari Sultan Idrus bin Ali al Ulaiqi untuk menghentikannya, dengan sigap pelarangan itu segera diterapkan setahun atau setahun kemudian, akan tetapi penyakit yang membinasakan itu kembali lagi menimpa daerah itu, kemudian abahku membolehkan lagi pelaksanaan tradisi itu dengan syarat terbatas pada anak-anak kecil saja, adat ini berlanjut hingga kini dan dikenal dengan “al Syuwailillah”.

Salah satu bentuk peninggalan Syekh Said bin Isa al Amudy di daerah al Awaliq adalah banyaknya keturunannya tersebar di situ hingga kini, menempati bagian pantai di Ahwar, seperti Bandar, al Masani, Hanad, Ahwar dan lainnya. Mereka memiliki adat, maqamat (kedudukan) dan prosesi keagamaan yang menyerupai tradisi di Qaidun, Budhoh, dan daerah lainnya di Hadramaut, namun hal itu kini punah bersamaan kepergiaan para tokoh dan masyayekh di daerah itu penyebabnya adalah arus zaman dan pendidikan yang mempengaruhi generasi mudanya. Dari keluarga al Amudy juga ada yang berprofesi di bidang bisnis. Tidak sedikit dari mereka yang pergi ke Hijaz, Indonesia, Afrika, India, dan lainnya, mereka berprofesi sebagai pedagang, orang-orang kaya yang turut memberikan kontribusi dalam perkembangan ekonomi dan perdagangan di daerah tersebut. Dari mereka ada yang memanifestasikan penghasilannya untuk pembangunan daerahnya dan pembangunan masjid datuknya Syekh Said bin Isa al Amudy.

Hingga kini banyak manuskrip dan koleksi buku yang ditinggalkan mereka berada di rumah kuno keluarga al Amudy di Dauan. Dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan banyak dari perpustakaannya baik di Dauan Aysar maupun Ayman tertutup semenjak sepuluh tahun terakhir. Yang paling dikhawatirkan punahnya literatur ini, baik disebabkan oleh perubahan anak keturunan atau melalui faktor perbedaan cara berpikirnya, sehingga sampai pada tindakan membakar atau menghilangkan warisan itu, sebagaimana terjadi pada sebagian oknum saat ini, la haula wala quwwata illa billah.

Bersambung

Currently have 0 komentar: